Regional OPINI : Apakah Keputusan MK Produk Politik Dinasti?

OPINI : Apakah Keputusan MK Produk Politik Dinasti?

80
BERBAGI
Advertisement

BERITA MERDEKA – Belakangan muncul banyak “ahli” hukum dadakan yang banyak mengomentari mengenai Keputusan MK yang mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Keputusan MK tersebut mengabulkan permohonan pemohon sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Ramai diperbincangkan bahwa Gibran Rakabuming Raka yang sekarang menjabat menjadi Walikota Solo menjadi calon potensial untuk mendampingi Bacapres Prabowo Subianto.

Advertisement

Gibran yang merupakan anak sulung Presiden Jokowi dituduh akan dimuluskan jalannya agar bisa melanjutkan tampuk kepemimpinan di negara Republik Indonesia.

Mengingat umurnya belum memenuhi 40 tahun, para “ahli” berpendapat dirancanglah konsiprasi jahat untuk merubah Undang-undang Pemilu
Cocoklogi para ahli hukum dadakan ini meyakini ada 2(dua) indikator, yakni waktu keputusan MK dan hubungan keluarga.

Indikator pertama bahwa keputusan tersebut diketok palu kok bisa semeped itu dengan jadwal pendaftaran Capres-Cawapres? Emang boleh semeped ituh?.

Indikator kedua yakni hubungan keluarga, mengingat Ketua Mahkamah Konstitusi adalah adik ipar Bapak Jokowi.

Ada yang menamai MK adalah Mahkamah Keluarga, Mahkamah Kemenakan, atau mungkin ada yang menamai Mahkamah Kepaman-pamanan… Lho? Gak bahaya tah?.

Meme dan ejekan berkeliaran di media sosial bahwa keputusan MK yang dipimpin oleh Pak Anwar Usman itu adalah produk politik dinasti.

Rasa sayang seorang paman disimplifikasi dalam produk keputusan Mahkamah Konstitusi.

Emang boleh sesayang itu??? Netizen yang Budiman dan baik hati kemudian menghakimi bahwa Mahkamah Konstitusi mengkhianati reformasi, anti demokrasi, bahkan ingin membangun dinasi Jokowi.

Emang Bapak Jokowi raja ya? Bukannya Bapak Jokowi juga dipilih secara langsung melalui pemilihan umum yang konstitusional? Apakah Bapaknya Pak Jokowi dulu Kepala Negara Indonesia?.

Perlu dipahami bahwa pemilihan calon presiden dan wakil presiden itu harus memenhuhi syarat dan aturan main yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat pada Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan bahwa: Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25%(dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Bapak Jokowi walaupun sebagai presiden tidak punya kewenangan mengingat beliau bukan ketua umum partai politik.

Bagaimana mau mendirikan dinasti politik? Jadi ketua umum partai politik saja belum kelakon.

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Mahkamah Konstitusi berdiri sama rata tidak dapat diintervensi oleh eksekutif dalam hal ini Presiden Ir. Joko Widodo.

Apakah mungkin seorang Ketua Umum MK mutlak bisa memerintah hakim lain untuk menyetujui/menolak tanpa pertimbangan hukum? Pengambilan keputusan tentunya telah diatur dalam tata cara dan mekanismenya.

Argumentasi bahwa Keputusan Mahkamah Konstitusi adalah produk politik dinasti telak terbantahkan dan cenderung mengedepankan sensitivitas emosional.

Bila benar akhirnya Mas Gibran mencalonkan diri menjadi cawapres, kalau tidak suka ya jangan dipilih.

Namun, bila merasa cocok ya silahkan dipilih. Atau mungkin jangan-jangan Mas Gibran yang jadi Capres? Ya terserah partai politik/gabungan partai politik sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku tiap koalisi.

Bagaimana jika Mas Gibran ternyata tidak jadi capres maupun cawapres? Dinasti kok repot? Eh, gitu aja kok repot?.

Penulis adalah Moch. Darmanto
(Aktivis, Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia)